Sabtu, 16 Oktober 2010

Cerita_kakdin2


Belanja Bersamanya
Mereka mendapatkan undian tugas berbelanja. Mereka, cewek dan cowok. Si cewek, Dinna, berperangai cukup misterius—mungkin karena belum terlalu mengenalnya. Perawakannya tinggi dan terlihat langsing—sesuai dengan setiap pakaian yang dikenakannya. Hari ini dia mengenakan t-shirt putih berlengan panjang yang dilipat hingga kelengan bawah, dengan balero hitam panjang tanpa lengan dan celana jeans warna natural yang semakin menambah kesan tingginya. Rambut panjangnya dibiarkan lurus terurai dengan kep kecil hitam menata poninya—yang mulai panjang menutupi muka—menyamping dan semakin memperjelas aura anggun kulit wajahnya yang putih bersih. Si cowok, Bima, sikapnya cenderung pendiam dan terkesan jarang bergaul—mungkin karena belum akrab dengannya. Perawakannya tinggi dan sedikit kurus meski masih dapat terlihat usahanya membentuk badannya dari posisi pundak yang kokoh. Meski tak terlihat secara langsung dapat diperkirakan, pembentukan otot badannya cukup proporsional dan terlihat keren dengan mengenakan baju apapun. Saat ini dia menggunakan kemeja biru muda berseling putih bergaris dengan t-shirt putih di dalamnya. Kemeja berlengan panjang dan dilipat setengah sangat sesuai dengan jeans biru yang berwarna gelap. Jam tangan dan kacamata merupakan aksesoris tambahan yang menambah nilai plus penampilannya hari ini. Meski tidak direncanakan, mereka terlihat serasi.
Setibanya di supermarket terlengkap dan terbesar di daerah mereka, mereka memutuskan untuk membagi lembar tugas barang belanjaan agar lebih mengoptimalkan waktu. Dinna, “Ini bagianmu. Kau ke sebelah sana. Aku ke sebelah sini,” katanya. Bima mengangguk mengiyakan dan menerima lembar yang dimaksud. Dia pun beralih menuju ke arah yang dimaksud. Namun urutan barang yang dipesan dan letak barang di supermarket tidak beraturan. Alhasil, beberapa kali mereka berpapasan untuk mendapat barang yang sama. Bima yang sudah lebih banyak mondar mandir mengusulkan untuk membagi tugas mengambil barang berdasarkan posisi barang di supermarket saja. Dinna menyetujui dan mencari kertas dan pensil—bermaksud menulis ulang barang-barang yang akan dibeli. Bima mencegahnya dan mengeluarkan ponsel untuk memotret lembar itu. Dia membaca sekilas dan memberikan kedua lembar itu pada Dinna, dia mengatakan bahwa daya ingatnya cukup tinggi dan dia bisa melihat ulang ke hasil potret tadi bila masih masih ada yang luput. Dia mengusulkan ke salah satu arah—arah buah dan sayur sedangkan Dinna ke arah yang berlawanan.
Namun saat Dinna masih memilih barang yang pertama akan dibelinya, Bima cepat sekali kembali di sebelahnya. Dinna bertanya, “Sudah semuanya?”—sambil  melihat ke barang dalam keranjang troli yang dibawa Bima. Dia berkomentar, “Kenapa sayurnya sudah agak layu begini, apa tak ada yang lebih bagus?”—masih melirik barang-barang yang lain, ada tahu, tempe dan produk basah lainnya, “Kau tidak memilihnya ya? Produk ini produk import, pilih yang lokal saja, bahan tidak jauh beda namun harga jauh lebih murah.” Dinna juga melihat beberapa sayur belum memiliki label harga, “Kau belum menimbangnya?” Dia menggerutu bahwa hampir semua barang harus ditukar lagi. Dinna melirik tajam ke arah Bima, namun Bima mengatakan, “Sudah, tidak apa-apa. Kalau masalah harga, nanti aku yang ganti bayarin semua.” Dinna kesal dengan sikap Bima yang terlalu menggampangkan uang, sedangkan Bima justru mengutarakan bahwa mereka tak akan punya cukup waktu untuk mengembalikan dan memilih yang baru karena barang yang seharusnya akan dibeli masih sangat banyak, maka Dinna pun menghela nafas mengiyakan, dengan raut yang berubah seolah berpikir kebenaran ucapan Bima. (Bima yang melihat, tersenyum sekilas)
Akhirnya, mereka melanjutkan belanjanya. Mereka jalan bersama, memilih beras, ada banyak merek dan jenis, Bima langsung mengambil satu bungkus dan meletakkannya di keranjang. Namun Dinna mengambilnya kembali (dengan pandangan sinis ke melihat Bima) dan mengatakan “Apa yang kau lakukan? Disini banyak macam dan kita harus pilih-pilih dulu.” Bima berkomentar, “Bukankah semua beras sama saja, bila sudah dimasak akan menjadi nasi dan rasa nasi tidak akan jauh berbeda, karena rasa lauk pauk dan menu lainnya akan lebih berpengaruh.” Dinna dengan cuek terus memilah-milih kantung beras yang satu dan lainnya. Bima hanya melihatnya dan merasa kesal namun diam. Dinna terlihat menimbang-nimbang akan membeli sekantong beras yang berwarna merah, Bima pun berujar, “Apa yang kau lakukan?” Dinna mengatakan sambil lalu, “Mungkin sebaiknya kita mulai beralih mengkonsumsi beras merah. Ini lebih sehat. Bima menyipitkan mata dan menelan ludah, mengatakan, “Tapi rasanya tidak enak.” Dinna merasa kaget dan heran, “Kau tahu?” Namun dia akhirnya memutuskan untuk membeli beras putih biasa.
Setelah Dinna selesai memutuskan pilihannya dan meletakkan kantung beras di keranjang troli, Bima langsung menarik keranjang dan menuju tempat yang menjual barang pesanan lainnya. Saat akan tiba dia mengarah ke produk telur, dan langsung mengambil satu paket telur sambil lalu, namun Dinna menghentikan langkahnya dan kembali mengambil telur itu dan mengembalikannya. Bima merasa heran namun kembali hanya melihat dan mendengar Dinna mengatakan telur yang sudah dipaket biasanya kurang bagus. Dia pun mengikuti langkah Dinna menuju ke arah telur-telur yang dijual eceran. Dinna mengambil satu kantung plastik dan mulai memilih dan memasukkan satu persatu telur yang terpilih. Bima hanya melihat dan menunggu dengan raut bosan.
Setelah selesai memilih dan menimbang telur—termasuk beberapa kantung sayur yang belum berlabel, mereka lanjut ke arah bagian yang menjual minyak makan. Tanpa tujuan Bima berkomentar sendiri, “Apa dia akan memilih lagi hanya untuk sebungkus minyak goreng?” Dinna yang ternyata mendengar, menjawabnya, “Tentu saja, minyak juga banyak macamnya, ada yang dari minyak kelapa sawit dan ada yang bukan, harganya pun berbeda-beda, kita bisa lihat juga kualitas berapa kali penyaringannya.” Bima lanjut menanggapikan, “Kalau kau sudah terbiasa, bukankah kau bisa memilih saja merek apa yang biasanya kau beli dan tinggal mengambilnya”. Dinna terlihat berpikir sekilas dan menjelaskan bahwa dia jarang memasak dan tidak tahu perkembangan produk saat ini, banyak sekali produk-produk baru dan perubahan harga setiap waktu bisa jauh berbeda, jadi harus selalu memilih dengan cermat.
Bima yang terlihat jenuh mengingatkan bahwa barang yang harus dibeli masih sangat banyak dan hal itu akan sangat melelahkan bila masih harus memilah milih untuk setiap produk yang akan mereka beli. Dinna melihat ke arah cowok dengan kesal dan mengatakan, “Mungkin sebaiknya kamu balik dan pulang saja, biar aku sendiri yang belanja.”
Mereka pun adu mulut.
Bima    : “Baiklah, aku pun tak ada keperluan di sini.” Rautnya terdengar jenuh dan hanya mengiyakan karena merasa keputusan itu akan lebih baik.
Dinna   : “Ya, kau tidak dibutuhkan di sini. Sebaiknya kau pulang saja. Cowok gak akan mengerti saat wanita sedang belanja.” Kesal karena sikap Bima yang membuatnya merasa terganggu.
Bima    : “Hahh, ya, masa-masa yang indah saat wanita dan belanjaannya, aku tak akan mengganggunya.” Ucapannya terdengar cukup sinis.
Dinna (kesal) langsung mengambil trolinya dan melanjutkan belanja, Bima pun langsung berbalik menuju pintu keluar. Sekilas Bima melihat ke belakang dan terlihat dari kejauhan Dinna yang kesulitan membawa troli. Maklum, barang belanjaan yang mereka pilih untuk dikonsumsi 10 orang untuk seminggu ini—tentu cukup berat. Dia pun berpikir sejenak, dan kembali mendekat ke arah Dinna.
Dinna menyadari keberadaan Bima namun tetap meneruskan memilih barang belanjaan. Bima pun hanya diam dan melangkah mengikuti. Saat Dinna telah memilih salah satu produk minyak dan memasukkan ke keranjang troli, Bima segera menggerakkan trolinya ke arah barang tujuan lainnya. Dinna yang melihatnya—terlihat sedikit kesal namun akhirnya sekilas tersenyum.
Bima tiba lebih dulu dengan trolinya dan sudah menunggu tanpa mencoba memilih barang yang akan mereka beli. Dia berdiri bersandar di rak di sebelah produk yang menjual tepung dan berusaha mengerti saat Dinna mulai memilih-milih produk yang akan mereka beli. Dinna berucap sendiri, “Yang ini terigu, yang ini beras—bukan, uhm, ini juga terigu..harganya..” Bima berkomentar sendiri, “Pada akhirnya, harga juga menentukan pilihan.” Dinna melihat ke arahnya dengan sinis dan memutuskan mengacuhkannya—meneruskan memilih. Bima melanjutkan komentarnya dengan suara yang semakin kecil (dimaksudkan untuk dirinya sendiri), “Bukankah mahal karena ada alasannya. Kualitas dan proses perolehannya seharusnya jadi pertimbangan.” Dinna yang ternyata masih dapat mendengar, hanya menanggapi dengan diam—menahan nafas, memejamkan mata, menarik nafas panjang dan melanjutkan memilih. “Ok, yang ini saja.” Sebelum akan meletakkannya dalam troli, Bima sudah merebut apa yang dipegangnya dan meletakkannya di troli dan menggeser trolinya berjalan menjauh. Si cewek hanya melihat dan kaget, “Huh, cih..” tapi kemudian tersenyum sekilas.
Bima sudah tiba dan melakukan seperti sebelumnya, berdiri bersandar dan menunggu, namun Dinna hanya melangkah sekilas dan langsung mengambil beberapa bungkusan tanpa memilihnya. Saat berjalan ke arah bagian produk daging, Bima merasa heran dan bertanya, “Kau tidak memilihnya?”—menunjuk apa yang baru saja diambil Dinna. Dinna menjawab sambil lalu, “Itu cuma bumbu dapur, racikannya sama saja, merica yang satu dengan yang lain tidak akan jauh beda, harganya pun hanya berbeda sedikit.” Bima pun sekilas menggelengkan kepala, merasa aneh—tak habis pikir.
Mereka akan memilih daging dan ikan, Dinna mulai banyak bertanya dengan penjualnya, apa jenis ikan, kapan dibawa dari penangkaran, berapa harga, hingga jenis pengolahan yang akan lebih enak bila digoreng atau diolah lain. Begitu melihat jenis ikan yang tak pernah dilihatnya, dia pun semakin banyak berkomentar. Bima teringat sesuatu. Dia menyentuh lengan Dinna dan mengatakan, “Aku akan membeli sesuatu, kau pilih saja dulu.”—menunjuk ikan yang sedang dilihat Dinna. Dinna mengatakan dan berpesan setengah berteriak, “Oke. Tapi jangan lama-lama.” Bima yang sudah berjalan hanya melambaikan tangannya dari jauh sambil lalu—tanpa melihat.
Saat Bima kembali dengan beberapa barang di tangannya, Dinna terlihat sedang masih memilih produk daging yang ada dalam kemasan. Bima meletakkan barangnya di troli dan Dinna menyadari keberadaannya, “Kau cukup lama, bingung juga memilihnya?”—bermaksud menyindir setelah melihat produk yang dipilih Bima tidak terlalu banyak—sampo, sabun, alat cukur, dan beberapa lainnya. Bima menjawab acuh tak acuh, “Tidak. Aku bertemu teman SMA dan ngobrol cukup lama dengannya di sana. Lagipula, kupikir kamu akan membutuhkan waktu cukup lama bersama dengan ikan dan tumpukan daging itu.”—Bima membalas dengan senyum jail sekilas karena dia segera mengalihkan pandangannya. Dinna hanya diam sedikit kesal. Bima melanjutkan, “Dan, ternyata waktu yang kuperkirakan masih kurang.”—sambil melihat ke arah tangan Dinna dengan dua produk paket daging di tangannya. Perhatian Dinna pun beralih melihat Bima dengan kesal, “Kau sangat menyesal mendapat tugas belanja bersamaku ‘kan?” Bima yang melihat suasana hati Dinna yang memburuk, hanya terdiam.
Dinna mengambil ikan yang telah digoreng saat si penjual memberikan ke arahnya. Dia meletakkannya di bagian atas troli. Bima masih merasa ragu mengawali pembicaraan namun dia memutuskan mengatakannya juga, “Mungkin kau lupa, tapi daging yang tadi kau pilih belum ada di keranjang.”
Dinna melihat ke arahnya, lalu ke keranjang dan ke arah yang dimaksud Bima. Dia menjawab, “Oh, aku hanya melihat-lihat. Tak ada maksud membelinya.” Bima mengatakan, “Sudah beli saja,”—terlihat raut menyesal di wajahnya. Lanjutnya, “Bila masih butuh waktu untuk memilih, aku akan menunggunya. Atau, kau ingin aku menunggu di sana?”—sambil tersenyum membujuk. Mungkin dikiranya Dinna ngga jadi memilih karena sindirannya tadi. Dinna yang melihatnya tersenyum, sedikit tergugah dan mengatakan, “Tidak. Aku memang tidak berniat membelinya, aku hanya melihatnya sambil menunggu ikan yang digoreng. Aku melihat dan menimbang-nimbang kualitas dada ayam yang lokal dan import ternyata jauh berbeda—dagingnya, tulang dan kulitnya.” Bima yang mendengar penjelasannya, terlihat berusaha mengerti. “Juga, harganya,” Dinna menambahkan sambil ikut tersenyum.
Dalam perjalanan pulang, komunikasi diantara mereka sudah membaik. Mereka membahas persoalan yang sempat menjadi masalah tadi hingga perbedaan cewek dan cowok saat membelanjakan keperluan mereka.
Dinna akhirnya mengatakan, “Mungkin membosankan bagi kalian karena kalian tidak merasa berkepentingan untuk melakukannya. Pasti ada saat dimana pikiran kita merasa bosan dan mengatakan, ‘Mungkin lebih baik waktu ini kulakukan untuk sesuatu yag lebih berguna.’ Dan, oleh karenanya, ingatkan aku untuk tidak mengikutsertakanmu saat mendapatkan tugas belanja. Mungkin, undian pembagian tugas bisa dipilih ulang.”—sarannya. Bima yang sedang mengemudi setir—melihat sekilas ke arah Dinna, dia tersenyum dan mengatakan, “Tidak juga. Karena belanja bersamamu, aku jadi mengerti jalan pikiran kalian—wanita.” Tersenyum dan membalas dengan senyum saat Dinna melihat ke arahnya. Lanjutnya, “Dulu saat diajak ibuku belanja dan memerlukan waktu yang lama, aku tak pernah mau ikut lagi saat tahu beliau akan belanja. Bagiku, tempat yang disebut pasar adalah kasino penuh pilihan menggiurkan bagi kaum tertentu yang akan menghabiskan sepanjang hidupnya untuk melihat dan berkeliling. Mereka tak pernah bosan dan sepertinya tak akan pernah bosan. Pasar menjadi surga bagi mereka yang sudah kecanduan. Bukan tempat untukku menghabiskan waktu.”
Dinna melihat ke arah Bima—dan mulai mengerti. Bima masih melanjutkan, “Tapi, hari ini jadi semakin jelas saat melihat dan mendengarmu. Lumayan banyak tontonan yang dapat dilihat.”
Bima maksudkan adalah mimik wajah Dinna yang berubah-ubah saat melihat produk pilihan yang baru dan unik, atau saat dia bingung harus memilih produk yang mana, atau saat dia kesal bahwa satu produk sudah menjadi sangat mahal, dan banyak hal lainnya—Dinna sangat ekspresif bila serius melakukan sesuatu. Apapun yang dipikirkannya pun selalu tanpa sadar diucapkannya, sehingga terlihat lucu—perpaduan jalan pikiran dan raut wajah yang seharusnya tidak terlihat.
Sedangkan Dinna mengira ‘tontonan’ itu adalah gadis-gadis cantik yang sedang belanja dengan pakaian serba minim, dia berkata dalam hati, “Mereka pikir tempat belanja itu café, atau mereka memang akan membawa belanjaannya ke café? Hahaha, ada-ada saja.” Dia pun tersenyum sendiri.
Bima melihat ke arahnya, dia pun salah tingkah—membuang arah pandangan dan melihat pengendara motor yang berhenti tepat di sebelah mereka (saat lampu merah).
Ada seorang cewek yang mengenakan pakaian sangat-sangat-sangat minim—rok span yang ketat, baju lengan pendek seperti singlet—nyaris terlihat tanpa busana. Dia mengatakan dalam hati, “Apa dia tidak masuk angin? Sekalian aja pake lingerie.” Terlihat beberapa cowok pengendara motor melihat ke arah cewek yang berpakaian minim itu. Dinna pun berkomentar, “Dasar cowok.”—menggelengkan kepala.
Bima melihat ke arahnya. “Ada apa?” Dia pun melihat ke arah pandangan apa yang dilihat Dinna dan mengatakan, “Mungkin, dia orang tak punya—sehingga hanya mampu membeli pakaian dengan bahan terbatas.”
Dinna yang merasa heran dengan ucapan Bima melihat ke arahnya. Bima bertanya, “Apa?” Dinna justru balik bertanya, “Apa tadi yang kau ucapkan?” Bima mengerti dan mengatakan bahwa tidak semua cowok suka dengan penampilan wanita yang serba minim, mungkin itu akan meningkatkan libido gairah cowok dalam seketika, namun cowok yang lebih mengutamakan logikanya akan berpikir ulang untuk mendekati wanita tipe seperti itu.
Dia melanjutkan, “Tentu tak ada istimewanya bila seluruh dunia juga dapat melihat wanita yang kita sayang tanpa busana. Seorang wanita seharusnya tahu bahwa pria pun ingin wanita hanya menjadi miliknya.” Dia berkomentar tentang keegoisan pria dan Dinna pun berkomentar tentang pandangannya dari sisi wanita. Dalam pikirannya, Dinna mengerti bahwa Bima yang sekarang berprofesi sebagai dokter tentu sudah puas melihat tubuh manusia,—termasuk wanita—dalam keadaan utuh,—tanpa busana, jadi bukan hal baru bila dia melihat cewek yang berpakaian serba minim itu.
Dinna mengalihkan pembicaraan mereka saat mobil sudah mulai melanjutkan perjalanan, “Jadi, pengalaman hari ini bukan termasuk pengalaman terburuk dalam hidupmu?”
Bima melihat ke arah Dinna dan tersenyum sekilas—namun segera melihat kembali ke arah kemudinya, dan menjawab, “Bukan salah satu. Tapi, satu-satunya.” Namun dengan senyum jail dia melihat ke arah Dinna yang beraut kesal mendengarnya.
Dia melanjutkan, “Dan, satu-satunya pengalaman menarik—bertengkar denganmu di tengah kerumunan—dari sepanjang hidup 25 tahun ini.”  Dia melihat ke arah depan kemudi, dan berkata sendiri dengan senyum terukir, “Mungkin ada baiknya untuk dilakukan sekali-kali.”
Dinna melihat ke arah Bima, ikut tersenyum dan berkomentar, “Jadi, kau masih mau menemaniku, kalau kita mendapat tugas belanja lagi?”
Bima melihat ke arah Dinna yang saat ini memiliki raut penuh harap, dia menjawab, “Mungkin. Dan, saat itu akan lebih baik bila aku membawa earphone dan sedikit cemilan”—candanya seraya kembali fokus ke arah depan. Dinna yang mendengar itu hanya sekilas manyun dan lalu tersenyum juga.
Perjalanan pulang dilanjutkan dalam diam, mereka mendengarkan musik dan terlarut dalam pemandangan sekitar. Sama seperti saat berangkat tadi, namun bedanya, hati dan pikiran mereka lebih tenang. Mereka sudah menerima dan mengerti. Mereka merasa, nyaman. Satu kata penting dalam satu kebersamaan.
Pikiran Cewek            : “Oh, begitu sulitkah pergi menemani berbelanja?”
Pikiran Cowok            : “Yah, ternyata begitu saat berbelanja.”

1 komentar:

  1. ..ini catatan hari ini yang terbangun dengan melihat Dinna dan Bima di supermarket. sekilas tapi kuharap dapat diterima. mungkin, ada beberapa kesalahan kata dan ketidakcocokan suasana.. Mohon dikomentari..^^ Good Day

    BalasHapus