~ Dream and Reality ~
Dia, seorang gadis yang nyaris sempurna. Seorang remaja yang mulai menginjak usia 17 tahun. Masa indah sebagai seorang gadis yang beranjak dewasa. Baginya, teman dan keluarga adalah bagian dari dirinya. Hidupnya haruslah membanggakan lingkungan dan sekitarnya. Menimbang dari prinsip hidupnya, ilmu adalah jiwa raganya yang harus selalu disempurnakan, buku adalah makanan pokok kesehariannya, pulpen dan pensil adalah tangannya, perpustakaan adalah kamarnya dan sekolah adalah istananya.
Hm, julukan yang pantas untuknya? ‘Kutu buku’?! Ya, benar. Namun bedanya, dia bukan sembarangan si ‘kutu buku’. Dia tetap memiliki banyak teman dan sikapnya tidaklah cupu dan memuakkan. Pribadinya baik dan penampilannya menarik. Dia, seorang gadis yang sempurna. Ups, nyaris sempurna. Nadine Ariesta Dewi.
***
“Wooow, selamat ya. Lolos di Kedokteran ya? Itu impian kamu dari dulu ‘kan?” Aku hanya tersenyum mendengarnya. Sedari pagi aku sudah mengetahui kabar gembira itu. Sesuatu yang membanggakan ayah dan bunda yang telah membesarkanku. Sebuah kabar yang membuatku semakin yakin akan kemampuanku. Hal ini juga semakin meningkatkan predikatku sebagai seorang ikon SMU Anugerah Nusa Bersama. Sebuah sekolah elit yang hanya menerima siswa didik pilihan terbaik dari seluruh nusantara. Seorang siswi terbaik dari sekumpulan siswa-siswi terbaik dari seluruh negeri. Aku patut berbangga diri.
“Trus, kamu berniat tidak menghiraukan saran bu Ratna, dong. Beliau ‘kan mengharapkanmu untuk melanjutkan jurusan yang diinginkannya. Gimana tuh?” Aku hanya membalasnya dengan senyuman.
Aku berterimakasih atas keyakinan bu Ratna padaku, namun aku masih harus memikirkannya. Aku telah lolos di sebuah fakultas Kedokteran salah satu Universitas ternama se-Indonesia. Masih haruskah aku memikirkan saran bu Ratna yang mengarahkanku sebuah jurusan tak umum? Psikologi? Bukankah jurusan Kedokteran lebih membanggakan?! Yah, lebih baik aku pikirkan nanti. Aku akan membicarakan kelanjutannya dengan bu Ratna nanti. Aku yakin, bu Ratna akan memberikan pendapat yang lebih baik setelah mengetahui kemampuanku menyingkirkan ratusan bahkan ribuan saingan untuk menempati sebuah kursi paling elegan ini. Saat ini aku harus lebih memusatkan perhatian pada prosedur lanjutan sebelum masa perkuliahan dimulai. Ujian nasional dan beberapa rangkaian ujian yang cukup melelahkan.
***
Sinar mentari kembali menyentuh ragaku yang mulai lesu. Cahayanya merasuk hingga dasar jiwa paling dalam. Cerahnya mengusik dan menelusur hingga pelosok pikiran dan konsentrasi. Tak ada yang kupikirkan. Hanya beberapa kali aku mengingat, lagi dan lagi. Kata-kata yang sama. Kalimat yang sama. Lagi dan terus berulang. Sebuah untaian kata yang mulai menggurat, menggema, nyata dan berulang berkala. Bagai rekaman memori yang ditayangkan untuk selamanya berputar. Sebuah kenangan yang sama. Sebuah kenangan pahit.
“Kok bisa ya?”
“Kok bisa?”
“Kenapa bisa begini?”
“Ini aneh ‘kan?”
“Wah, ngga mungkin nih.”
“Kayaknya ngga mungkin deh.”
“Pasti ada kesalahan!”
“Ngga mungkin ‘kan?”
Ribuan bahkan jutaan kata terdengar samar dan menggema, kesadaranku pun mulai hilang.
Kenyataannya, namaku tidak tertera disana. Nomor urutku terlewati begitu saja. Tak ada nama Nadine Ariesta Dewi. Tidak ada pengakuan untuk seorang Nadine. Tidak ada pertanda baik disana. Tidak ada namaku. Daftar yang ditunggu ratusan bahkan ribuan calon alumni sekolah menyatakan AKU TIDAK LULUS.
Saat itu, aku tidak berdaya. Aku tidak percaya kenyataan yang sebenarnya terjadi. Aku tidak percaya, ini benar kualami. Aku tidak percaya semua ini. Sungguh, ini tidak mungkin!
“Kamu mau turun untuk sarapan, sayang?” Tangan Bunda membelai lembut rambutku yang mulai kusam.
“Kamu harus makan ya, sayang. Nanti Bunda bawakan makanannya ke kamar, ya? Sekarang kamu mandi dulu, sedari pagi kamu belum mandi ‘kan? Kasihan badannya, nanti bisa sakit loh. Ayo, mandi dulu, habis sarapan ikut Bunda ke taman ya?” Bujuk Bunda sesaat sebelum meninggalkan kamarku.
Dengan malas kuletakkan remote control yang telah menjadi sahabat akrabku beberapa hari ini. Puluhan DVD dan komik kubiarkan berserakan memenuhi lantai. Kugeser beberapa kepingan dan kuhindari beberapa tumpukan yang menghalangi langkahku menuju pintu. Aku pun melangkah lesu meraih handuk dan peralatan mandi, ke luar kamar menuju satu-satunya ruangan lain yang paling akrab denganku beberapa hari belakangan ini.
***
Dahulu, seorang gadis pintar dan berbakat, peran itu yang melekat padaku selama ini. Penjelasan yang tepat dan pantas untuk menggambarkan sosokku, Nadine, anak 12-1 yang mewakili nama sekolah dalam berbagai ajang kejuaraan. Nadine yang ramah dan supel. Nadine yang cantik dan pintar. Nadine yang cerdas dan dapat diandalkan. Nadine yang menjadi kebanggaan.
Kini, Nadine yang ada telah tenggelam dan suram. Nadine yang mulai kehilangan sinar dan pesonanya. Nadine yang kehilangan keyakinan dan kepercayaan dirinya. Nadine yang tidak berdaya. Nadine yang tidak lagi dapat diandalkan. Bahkan, oleh dirinya sendiri.
Semua ini mungkin sudah ditakdirkan. Hidup itu bagaikan roda. Sesaat aku berada di puncak dengan sejuta kejayaan. Kini aku lenyap terjatuh dalam dasar jurang yang tidak mungkin terlihat.
Sudah seharusnya aku menyerah. Menyerah pada suratan nasib yang telah digariskan. Untuk apa lagi berusaha..
Semuanya sia-sia.
***
Kupikir berulang-ulang. Mengapa ini dapat terjadi padaku? Mungkinkah ada seseorang yang mengerti perasaanku? Untuk apa predikat berbakat itu kumiliki? Untuk apa gelar juara yang kuperjuangkan selama ini? Untuk apa susunan piagam dan plakat kebanggaan itu? Untuk apa sederetan pujian-pujian itu? Untuk apa aku berusaha lagi. Apa gunanya kelulusan untuk kuliah Kedokteran? Apa gunanya aku berusaha keras selama ini? Hanya menyia-nyiakan waktu dan tenaga untuk sesuatu yang ngga akan pernah kumulai, bahkan sebelum terpikirkan untuk memulainya, aku telah kalah. Kalah bahkan sebelum diijinkan berjuang. Kalah sebelum memasuki medan pertarungan. Kalah sebelum berperang.
***
“Bun..” Kuhentikan langkahku dan berbisik ke arah Bunda. Namun, seakan tidak mendengarkan perkataanku Bunda melanjutkan langkah memasuki taman.
Untuk apa Bunda mengajakku ke taman ini? Hampir setiap saat kita dapat meluangkan waktu untuk melihat taman ini. Jaraknya hanya beberapa meter dari rumah. Saat akan bepergian pun kita akan melewati dan memungkinkan untuk mengamati taman ini.
Sebuah taman bermain yang biasa saja. Sebuah taman yang diramaikan orang yang berlalu lalang berolahraga atau sekedar menikmati sentuhan sinar mentari di sore hari.
Beberapa sudut akan terlihat sepasang muda-mudi yang memadu kasih, bercanda dan bercerita. Beberapa sudut lain akan terlihat ramai anak kecil bermain kejar-kejaran dalam ruang yang lebih lapang. Sebuah sudut lain akan terlihat hamparan penjual menjajakan makanan menunggu setiap insan yang membutuhkan cemilan penghilang lapar dan dahaga. Satu hal yang memberi daya tarik tersendiri adalah sebuah kolam air mancur tepat di tengah taman. Kolam seluas 8 meteran itu mampu menyihir setiap pengunjung dengan pesonanya. Sebuah patung angsa putih setinggi 5 meteran mengeluarkan air yang terpancur indah memenuhi isi kolam. Sinar mentari sore pun terhambur sempurna memberikan nuansa yang tak ternilai saat kesan pertama kunjungannya.
Namun tidak begitu dengan pendapatku saat ini. Suasana yang indah itu tidak terpikirkan olehku. Tidak terbersit sedikit pun untuk belajar menikmatinya. Hanya satu sudut pandanganku tertuju tak bergerak. Tempat yang sama namun terasa hampa. Aku memandanginya dengan tatapan kosong. Bosan.
Kulirik ke arah Bunda, dia sibuk dengan notebook yang tadi dibawanya. Yah, beberapa orang juga dapat menikmati suasana taman ini dengan cara yang berbeda. Suasana taman terbilang cukup mendukung untuk konsentrasi dan kenyamanan mengerjakan tugas dan pekerjaan. Suasananya mendukung untuk melahirkan inspirasi-inspirasi baru. Imajinasi terbaik pun dapat bermunculan menggambarkan ragam cerita sepanjang senja.
“Sedang apa, Bun?” tanyaku berbasa basi. Membosankan bila harus terus dalam situasi seperti ini.
“Chatting,” katanya dengan tetap melanjutkan konsentrasinya.
Chatting? Kok serius banget?
“Bunda beneran chatting?” tanyaku penasaran.
“Iya, kamu mau ikutan?” tanyanya berbalik melihat kearahku.
“Oh, ngga. Ngga, makasih.” Tegasku. Aku ngga suka chatting. Aku sudah lama tidak melakukannya. Mungkin, dapat dikatakan tidak pernah chatting sama sekali.
Beberapa kali pernah sih diajak untuk chatting atau sekedar melihat teman melakukan chatting. Namun, kupikir untuk apa melakukan hal yang sia-sia begitu? Kalau mau bicara atau berkomunikasi bisa bertemu langsung atau lewat telpon, ‘kan? Lagipula, untuk apa berkenalan dengan seseorang yang ngga jelas wujudnya? Mungkin, orang itu hanya orang jadi-jadian? Orang iseng? Kemungkinan besar kita dibohongi. Mungkin saja semua cerita itu palsu. Berusaha mengenal seseorang yang tidak nyata? Bukankah itu hanya buang-buang waktu! Kupikir, waktuku akan lebih berguna untuk kegiatan yang lebih jelas tujuannya. Kalau pun bergelut dengan dunia maya, aku akan mengunjungi situs-situs informasi yang lebih berguna untuk tugas pelajaran, atau terkadang mengirimkan e-mail untuk orang-orang yang mengharapkan kiriman surat dalam bentuk e-mail, electronic-mail atau surat dalam wujud elektronik lainnya.
“Ya udah. Bunda mau jogging bentar. Kamu mau download sesuatu?” tanyanya kemudian bermaksud meninggalkan laptopnya dalam kondisi menyala.
Aku hanya mengangguk pelan. Aku masih ragu akan men-download apa. Tak ada tugas atau e-mail yang harus kukirimkan. Tak ada yang dapat kulakukan dengan alat ini. Namun jemari tanganku berkata lain. Sesaat setelah kubuka sebuah software penjelajah dunia maya, tanganku mulai mengetik huruf demi huruf menyusun kata demi kata, sebuah kalimat ‘seorang bernasib malang’
Sederetan web bermunculan dalam hitungan detik. Kubaca perlahan satu demi satu judul yang tersusun rapi berurutan. Kuamati ringkasan dan memilah berita yang membuatku tertarik untuk membaca keseluruhan ceritanya. Seorang anak yang harus mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk membantu keluarganya membiayai uang sekolah. Seorang anak yang harus melewati belasan kilometer untuk dapat tiba di sekolah dan mendapatkan ilmu pelajaran. Seorang anak yang belajar dalam kondisi yang memprihatinkan, hanya di hamparan lapangan di bawah salah satu pohon rindang karena bangunan sekolah yang tidak memungkinkan. Seorang anak yang terlahir tidak sempurna dan terpisah dari keluarganya. Seorang anak yang menjalani hidup karena luput dari bimbingan orang tua, kehilangan kehidupan bebas dan menghabiskan masa muda di dalam bui. Seorang anak yang menghadapi kerasnya perjuangan hidup sendirian tanpa seorang pun yang dapat diandalkan, mereka bertahan dengan hanya mengandalkan dirinya. Tak ada teman, tak ada saudara, tak ada keluarga yang dapat diharapkan. Mereka berusaha dengan segala kenyataannya. Kenyataan bahwa mereka sedang berada di bawah. Di bawah roda kehidupan. Dengan sebuah keyakinan bahwa suatu saat nanti roda akan berputar. Putaran kehidupan yang lebih baik.
Sementara otakku sedang berusaha keras mencerna berita yang baru saja kubaca, jemariku mulai mencari sebuah informasi lain. Info lain yang ingin kuketahui, ‘seorang anak bernasib baik’.
Kuteliti dan kucermati satu demi satu data yang tersusun sesuai update terbarunya. Sebuah berita membuatku terpana dan takjub. Berita tentang seorang anak yang beruntung dengan kehidupan dan bakatnya. Seorang anak yang terlahir dari keluarga terpandang dan besar dalam lingkungan yang mendukung. Anak yang berbakat dan semakin cemerlang dengan banyaknya dukungan finansial. Kemampuan dan pesonanya mampu menampilkan dirinya dalam sosok kebanggaan lingkungan bahkan negaranya. Kemampuannya mengikuti berbagai tingkat nasional dan memenangkannya membiarkan pelosok tanah air mulai lebih mengenalnya. Usahanya pun tidak sia-sia setelah dia memberanikan diri..
***
“Bunda,” Bunda melihat ke arahku setelah dia sempat duduk istirahat beberapa saat di sebelahku.
“Aku boleh minta sesuatu dari Bunda dan Ayah?” tanyaku memberanikan diri.
“Aku tahu Bunda dan Ayah menginginkan agar aku kuliah di Kedokteran saja. Aku pun telah berusaha untuk lolos ujian masuk perguruan tinggi itu. Namun, aku menyadari aku tidak berminat di bidang itu. Aku hanya ingin meyakini diriku agar melihat masa depan dengan keyakinan.”
Bunda mendengarkan dengan penuh perhatian. “Trus, kamu lebih berminat di jurusan apa?” tanyanya kemudian.
“Aku..” Bunda melihatku dengan penuh penjiwaan.
Setelah terdiam sesaat, aku melanjutkan, “Aku ingin meneruskan pilihanku di jurusan Psikologi yang diusulkan bu Ratna. Ini, bukan karena bu Ratna, bukan karena teman-temanku, bukan paksaan siapapun dan bukan karena aku menyerah.” tegasku meyakinkan. “Aku sudah mendapatkan undangan untuk melanjutkan kuliah di sebuah universitas ternama di Yogyakarta. Kalau diijinkan, aku akan segera menyampaikan jawabannya melalui bu Ratna. Dalam waktu beberapa hari setelahnya aku akan berangkat ke sana untuk menjalani matrikulasi, penyesuaian sebelum perkuliahan. Boleh ‘kan, Bun?” Pintaku penuh harap.
***
Seminggu lagi ujian akhir gelombang kedua (ujian pengganti) akan dimulai, dengan dukungan dan doa semua orang, aku merasa yakin akan kemampuanku. Aku berusaha sebaik mungkin untuk tidak menyia-nyiakan kepercayaan yang telah ada. Tidak untuk kedua kalinya. Dengan persiapan dan bantuan belajar bersama teman-teman yang selalu menyayangiku, aku berjanji akan memberikan hasil yang terbaik. Aku akan lulus dan melanjutkan sebuah mimpi. Mimpi melalui jalan yang kupilih. Mimpiku.
Bunda pun mengangguk pelan pertanda setuju. Beliau telah memahami benar keinginan dan keyakinanku untuk berjuang dengan caraku. Setelah permasalahan pahit itu aku harus yakin bahwa hidup ini akan berjalan sesuai harapan bila kita tidak pantang menyerah. Hidup itu bagaikan roda. Ada masa kita di puncak kejayaan dan terkadang kita akan terjatuh dalam lembah yang paling dalam. Hal yang perlu disadari, jangan takut untuk melangkah, percaya setiap usaha akan berbuah hasil yang membanggakan dan setiap musibah akan memperlihatkan rancangan yang lebih indah.
Hadapi dengan senyuman.. ^^
***
“Usahanya pun tidak sia-sia setelah dia memberanikan diri. Dia berhasil masuk sebuah perguruan tinggi ternama dan mulai menampakkan kiprahnya setelah meraih beasiswa melanjutkan studinya dan lulus dengan predikat cumlaude.”
Akan selalu ada pagi yang cerah setelah melalui gelapnya malam yang panjang.