“High Girls”
Cewek-cewek berkumpul bersama dan membentuk suatu kelompok yang dikenal dengan nama High Girls.
Siapa yang tak mengenal Misery School International. Sekolah khusus wanita yang sangat terkenal. Sekolah yang terdiri dari tingkatan paling dasar hingga setara SMU ini mampu menyita perhatian khalayak ramai untuk berlomba-lomba menyekolahkan putri mereka. Karena nyaris seluruh alumni sekolah ini mampu menunjukkan kemampuan mereka dalam dunia bisnis nasional bahkan beberapa diantaranya mampu bersaing hingga taraf international. Kemampuan mereka tidak pernah diragukan. Setiap kelulusan merupakan catatan bersejarah yang mulai menunjukkan taring keganasan mereka melumpuhkan persaingan yang pernah ada dan merubah perkancahan ekonomi yang ada. Mereka akan menunjukkan karir gemilang dan tak jarang, sebagian besar siswinya telah dicatat sebagai siswi pilihan oleh berbagai perusahaan besar sehingga jaminan hidup nyaman berkelanjutan sudah dapat dipastikan bagi seluruh lulusan sekolah ini.
Ini adalah sekolah yang didirikan oleh sebuah yayasan terkemuka dengan menelan biaya yang sangat luar biasa. Jangan disebutkan, ntar bisa kaget..^^
Sekolah yang didirikan di sebuah pulau terpencil ini dilengkapi dengan asrama dan berbagai kebutuhan hidup penghuni pulau yang tak lain hanya anggota sekolah yang berkepentingan. Baik itu siswi, pengajar, pengurus sekolah dan beberapa penduduk lokal yang diberi ijin khusus menetap dalam jangka waktu terbatas. Setiap orang yang diberi ijin untuk tinggal dan menetap di lokasi ini sudah dapat dipastikan akan memperoleh kenyamanan hidup bagai di negeri impian. Semua kebutuhan hidup telah terpenuhi dalam pulau sehingga tidak mengharuskan penghuninya untuk keluar dari pulau. Ijin untuk keluar masuk pulau pun sangat terbatas dengan prosedur yang sangat sulit dan ribet. Namun hampir tak ada yang mempermasalahkan, karena sudah dipastikan seluruh siswi yang berhasil dididik disana akan mendapatkan seluruh kebutuhan pendidikan yang diimpikan untuk masa depannya. Sehingga tak jarang, banyaknya calon siswi yang mendaftar dalam waiting list mencapai jutaan jiwa baik siswi pribumi maupun indo.
Namanya juga sekolah cewek, so sudah dapat dipastikan sekolah ini hanya beranggotakan siswi-siswi yang sangat ribet dengan rutinitas kewanitaannya. Hahaha. Yah, dunia cewek.
Dalam pulau yang tidak begitu luas ini, hanya ditinggali oleh jenis kelamin wanita meskipun ada juga beberapa pria dengan ijin kepentingan khusus, seperti guru atau pelatih pria yang dinilai terbaik seantero negeri dan beberapa penduduk lokal yang membantu memenuhi kebutuhan seluruh penghuni pulau.
Dalam sekolah eksklusif ini ternyata ditemukan sebuah kelas eksklusif bagi siswi pilihan khusus yang hanya terdiri dari belasan siswi. Siapa yang tak kenal mereka karena seluruh siswi dan penghuni sekolah HARUS mengenal mereka. Meskipun tak jarang perubahan dan pergantian anggota-anggotanya bisa terjadi hanya dalam kurun waktu tak terduga.
Mereka dikenal dengan sekumpulan cewek-cewek hebat seantero sekolah. High Girls. Nama kelompok kelas khusus itu. Setiap anggotanya diharuskan memiliki kemampuan khusus yang bisa diandalkan karena kelas khusus ini hanya beranggotakan siswi khusus pula. Banyak keahlian yang dimiliki siswi kelas khusus ini diantaranya kemampuan dalam bidang intelektual sains, komunikasi international, seni, beladiri, dan banyak lagi bahkan kemampuan dalam hal kegiatan khusus wanita pun dapat dipertimbangkan. Kemampuan mengurus rumah tangga hingga berbagai cara menaklukan pria. (??)
Seluruh siswi kelas khusus merupakan gambaran cewek-cewek sempurna yang menjadi idaman banyak pria, baik yang memiliki sifat sangat feminin maupun sifat tomboy.
***
Beruntung bagi Olla, konon berkat tulisannya dalam sebuah forum pendapat untuk mading di sekolahnya. Sebuah peluang hidup yang selalu diimpikan banyak orang. Hidup bagai di dunia impian.
***
Hari ini, pagi yang cerah. Bagai mimpi, Olla terbangun dalam sebuah ruang yang sangat harum dan menyegarkan. Sebuah kamar dengan luas kurang lebih 30 x 30 m2, dilengkapi dengan sebuah lemari berperangkat peralatan make up lengkap di salah satu sudut ruangan dibatasi sekat bergeser. Sebuah ranjang mewah tepat berada di tengah ruang bak peraduan tempat beristirahat ratu istana. Sebuah sofa dengan tv plasma flat berada di sudut seberangnya. Berbagai peralatan menulis dan penelitian khusus interview seperti seperangkat komputer dan kamera dijumpai di salah satu pojok untuk kepentingannya melanjutkan kegiatan meliput yang menjadi pemicu beasiswanya di sekolah ini. Selain itu, ada sekat lain yang merupakan ruangan khusus olahraga dengan beberapa alat gym sport dan peralatan ringan untuk berolahraga serta sebuah sudut lain yang merupakan tempat lemari pakaian, sepatu, tas dan koleksi lengkap asesoris perhiasan lainnya.
Hari ini dia terbangun lebih pagi, lebih pagi dari kebanyakan siswi penghuni asrama, lebih pagi untuk kembali mengagumi sebuah ruang yang akan ditempati kurang lebih 2 tahun mendatang hingga kelulusan tiba.
Dibukanya sebuah lemari es yang bentuknya nyaris tidak terlihat karena dipadu dengan warna bening yang selaras dengan warna dindingnya. Bentuknya pun menyatu dengan permukaan dinding sehingga membutuhkan perhatian khusus bila belum terbiasa. Dinding yang tidak rata seperti halnya dinding rumah lainnya memberi nuansa khusus di setiap sudut ruangan. Di sudut berhias, nuansanya sungguh menyegarkan dengan warna pink girly yang membangkitkan gairah menjadi wanita tercantik. Lain halnya di pojok ruang kerjanya, nuansa hangat dan menyegarkan berpadu unik dari garis loreng dan mayoritas kebiruan pemandangan laut. Suasana santai akan dirasakan pada ruang santai saat melepaskan lelah di sofa dan tempat olahraga. Bahkan sekat tipis antara tiap ruang pun diberi cat khusus yang mampu menyelaraskan setiap suasana ruang sehingga saat tidur pun akan terasa sangat menyenangkan.
Setiap nuansa perpaduan warna, dinding dan seluruh isi ruang mampu memberi semangat penuh menghadapi hari yang penuh tantangan. Dia pun berkata dalam hati, dia tak akan pernah merasa bosan.
Tok.. tok..
Sesaat kemudian, pintu pun terbuka dan masuk seorang wanita dengan pakaian bak pelayan di rumah mewah. Dia mengingatkan untuk segera berbenah diri dan berkumpul di ruang makan tepat pukul 7—alias 30 menit lagi. Wah, aku tidak menyadari telah mengagumi kemewahan ruangan yang dikhususkan untukku ini, hampir mencapai 3 jam!
Segera bergegas mandi dan berpakaian seperti yang dijelaskan kemarin. Hari ini, hari selasa. Hari khusus berkebun. Hari ini kita diharuskan memakai seragam yang bernuansa coklat.
Oya, setiap harinya kita diharuskan memakai seragam. 7 hari dengan seragam yang berbeda dan rutinitas yang berbeda. Setiap seragam boleh dimodifikasi dengan ijin khusus bagi anggota khusus pula. Sehingga, siswi yang mengenakan seragam ‘tak wajar’ sudah dapat dipastikan bahwa mereka adalah High Girls.
High Girls. Sekumpulan siswi khusus dalam kelas khusus dengan perlakuan khusus pula. Setiap siswi tak berbatas umur dan kemampuan dapat terdaftar dan terpilih sebagai High Girls. Namun, tak jelas bagaimana proses terpilihnya anggota mereka. Sampai saat ini, aku masih belum mampu menghimpun data tentang itu. Setahuku, saat ini anggotanya 16 orang, mereka adalah Angelina, Ratih, Federra, Maya, Kareena, Leeya, Ally, Julie, Sophie, Mede, Goo Yang, Pnijhen, Rollita, Constantie, Ma Hyang, dan Kyoko yang baru terpilih 2 hari lalu menggantikan Lidya yang kudengar melakukan kesalahan fatal. Dari kabar burung, kutahu bahwa Lidya mengusulkan untuk menghapus warna coklat yang dinilai aneh pada sebuah lukisan kuno di ruang kelas. Hal itu membuat marah ‘sang’ dalam High Girls. Masih tidak jelas siapa Sang yang dimaksud. Lebih jelasnya, Sang adalah pemimpin dalam High Girls dan Dia-lah yang menggerakkan dan memiliki kuasa penuh menentukan dan mengganti anggota High Girls.
Lepas dari kemewahan yang lebih dari penampilan High Girls, aku melihat sorot mata yang terkadang mereka perlihatkan sebagai sebuah ‘ancaman’ ketakutan. Rasa takut akan didepak tanpa diperbolehkan melakukan pembelaan dan mencapai tempat terpuruk dalam sekejap.
Belakangan kutahu, Lidya dan beberapa orang yang pernah menjadi anggota High Girls dan dikeluarkan, akan mendapat masalah yang bertubi-tubi. Permasalahan tidak terlihat secara gamblang. Tak akan ada yang menyadari bahwa seseorang sedang berada dalam masalah namun masalah terjadi di belakang layar sehingga mau tak mau mereka pun harus meletakkan tahta kejayaan bak negeri dongeng di dunia Impian. Lebih parahnya, saat kembali ke dunia nyata dengan gelar ‘dikeluarkan’. Mereka tak akan mampu bertahan hidup, dimusuhi banyak orang dan dianggap sebagai sampah. Bagi mereka yang tidak kuat, tentu akan benar-benar terpuruk dan hampir keseluruhan dari mereka memilih untuk mengakhiri hidup ataupun menghuni tempat khusus pasien dengan gangguan kejiwaan. Bagi mereka yang lebih kuat, lebih memilih menjauh dari lingkungan yang mengenalnya. Seperti Lidya, kudengar, saat ini dia sedang beristirahat di pedalaman Afrika. Tak jelas bagaimana kondisinya. Jelasnya, dia menyadari bahwa kebiasaannya ikut campur dalam hal seni rupa yang menjadi keahliannya mampu membuatnya terpuruk dalam hidup yang tidak terduga. Dia tak pernah menyangka pengalamannya yang telah menempuh pelajaran sejak berusia 5 tahun dan memiliki peringkat membanggakan di kompleks sekolah itu, tidak memberikannya pertimbangan bagi keputusan Sang untuk mendepaknya dari kelompok eksekutif itu. Bahkan, kedudukan dan pengaruh ayahnya yang merupakan pengusaha terkenal pun tidak mampu membuatnya bangkit dan bertahan dalam High Girls dan Misery School International.
Tak ada yang mampu memungkiri. Sang dalam High Girls merupakan Penguasa dalam pulau Impian itu. Lidya yang selama ini terlihat sebagai Leader ternyata bukan apa-apa. Setelah hal ini terjadi, suasana dalam pulau Impian terutama dalam lingkungan High Girls pun semakin mencekam. Pertanyaan penting mulai menyeruak. Siapakah Sang dalam High Girls? Tentunya, dia adalah seorang yang selalu eksis dalam High Girls. Kemungkinannya berada diantara Leeya, Ally, Julie dan Sophie.
Leeya, seorang putri tunggal pengusaha retail terkemuka. Lahir dalam keluarga yang super sibuk. Dia memiliki sifat yang angkuh dan keras. Tak ada yang berani mendekatinya, namun tak ada seorang pria pun yang berani menolaknya. Selalu didukung sepenuhnya oleh Ally dan Lidya. Mereka merupakan teman sedari kecil. Mereka dibesarkan dalam keluarga yang sama. Awalnya, orang tua Lidya yang memiliki kedekatan dengan orang tuanya memperkenalkan mereka. Sedangkan, Ally ditinggalkan orang tuanya semenjak berumur 5 tahun dan dititipkan dalam keluarga Leeya, dan semenjak itu mereka bertiga sering terlihat bersama. Lidya yang berjiwa pemimpin selalu di-back up olehnya, namun suatu ketika Lidya justru terpuruk dan dibiarkan olehnya.
Ally, seorang gadis yang misterius. Lahir dalam keluarga brokenhome. Sifatnya pendiam dan tidak peduli pada lingkungannya. Dia pun tidak mudah terpengaruh lingkungannya, tak pernah terdengar kabar tentangnya. Dia ada namun seperti tak ada di lingkungan High Girls itu.
Julie, seorang gadis paling modis, meskipun penampilan mereka semua sudah sangat luar biasa, Julie selalu terlihat paling menguasai trend. Penampilannya membuat gadis-gadis lain ingin menirunya. Itulah mengapa, keberadaannya selalu ditunggu, dan hampir di seluruh koran-majalah trend membahas perkembangan tentangnya. Berita lain pun mengatakan bahwa dia seorang playgirl. Mungkin karena sifatnya ramah dan santai. Dia mudah berbaur dan mengubah suasana menjadi ceria.
Sophie, lain lagi. Dia seorang gadis yang cantik, penampilannya mampu menaklukkan pria bahkan wanita manapun akan ingin memiliki kecantikan sepertinya. Auranya terlihat hanya dalam pandangan sepersekian detik dan dia memiliki sifat paling keibuan. Kudengar, dia merupakan penengah diantara temannya. Dia akan berusaha membela bila salah satu High Girls mendapat masalah dengan Sang. Namun, entah mengapa dalam kasus Lidya, Sophie tidak mampu berkata apapun.
Dan, mereka adalah putri-putri diantara sekumpulan putri High Girls, dengan kemewahan melebihi siswi-siswi Misery School International yang hidup dalam gelimang harta.
Sedikit kata kunci dari mbak Mita yang mengurus kebutuhanku sehari-hari di asrama. Mereka adalah sosok yang mempunyai warna. Sebisa mungkin jauhi mereka dan hindari berurusan dengan High Girls. Karena High Girls memiliki julukan khusus. Selain Kelompok Cewek Elit, mereka adalah Genk Cewek Hell Grounds. Siapa yang masuk akan berada di puncak dengan tingkat kekhawatiran yang memuncak pula karena saat terjatuh maka akan terpuruk di dasar kehidupan paling hina. Posisi yang aman adalah posisiku saat ini. Hidup santai dan jangan berlebihan. Namun, menurutku hidup dalam Pulau Impian seperti saat ini sudah bukanlah hidup yang santai lagi. Ini sudah berlebih dari kehidupanku sebelumnya.
***
Mbak Mita mengantarku hingga ke depan sebuah mobil sedan mewah. Seorang supir membimbingku untuk masuk ke dalam mobil. Wah, aku merasakan diperlakukan sangat-sangat-sangat istimewa! Mbak Mita sebagai seorang asisten yang mengurusi kebutuhan di asrama. Seorang supir yang akan selalu mengantar jemput kemanapun aku pergi. Itulah salah satu fasilitas kehidupan mewah yang diberikan bagi penghuni pulau Impian, dan itu, dinilai wajar..?!
Bagai mendapat durian runtuh, aku, SANGAT SENANG.
***
Pagi itu, terdengar suara ramai dari gerbang depan yang dikhususkan dari dan ke taman yang nyaris menyerupai luas gurun gobi. Orang yang tak berkepentingan tak kan mungkin memasuki wilayah itu. Kudengar, di taman itulah heli yang mengantar mereka akan turun dan di sana pula terdapat tempat parkir mobil mereka.
“Hyaa.. Hya..” Suara sorai menyambut kedatangan mereka melewati pintu depan dan menaiki tangga khusus ke ruang kelas mereka. Ya, mereka, High Girls. Jelas terlihat kemewahan yang melebihi siswi biasa di sekolah itu. Kecantikan yang luar biasa. Gaya dan sikap yang sangat luar biasa. Penampilan modis yang sangat sangat luar biasa.
Dari kejauhan, kulihat mobil khusus yang mengantar mereka adalah mobil termewah yang pernah kulihat. Ada yang mengendarai sendiri dan adapula yang menggunakan supir pribadi.
Wewangian berpadu menyejukkan ruang yang mereka lewati. Selain itu, terlihat warna yang memukau dan menyilaukan. Merekalah sekumpulan gadis yang dikagumi para gadis modis. Gaya mereka selalu menjadi trend yang akan diikuti dunia modelling. Sifat dan sikap mereka selalu terlihat bagaikan cewek sempurna, angkuh yang elegan, ramah yang tegas, feminin yang tangguh, dan cantik yang tegar.
Susunan kata yang aneh, tapi tepat. Mereka, sempurna. Sosok yang lemah gemulai namun mampu menaklukan lingkungannya. Mereka, High Girls.
Minggu, 17 Oktober 2010
Sabtu, 16 Oktober 2010
Cerita_kakdin2
Belanja Bersamanya
Mereka mendapatkan undian tugas berbelanja. Mereka, cewek dan cowok. Si cewek, Dinna, berperangai cukup misterius—mungkin karena belum terlalu mengenalnya. Perawakannya tinggi dan terlihat langsing—sesuai dengan setiap pakaian yang dikenakannya. Hari ini dia mengenakan t-shirt putih berlengan panjang yang dilipat hingga kelengan bawah, dengan balero hitam panjang tanpa lengan dan celana jeans warna natural yang semakin menambah kesan tingginya. Rambut panjangnya dibiarkan lurus terurai dengan kep kecil hitam menata poninya—yang mulai panjang menutupi muka—menyamping dan semakin memperjelas aura anggun kulit wajahnya yang putih bersih. Si cowok, Bima, sikapnya cenderung pendiam dan terkesan jarang bergaul—mungkin karena belum akrab dengannya. Perawakannya tinggi dan sedikit kurus meski masih dapat terlihat usahanya membentuk badannya dari posisi pundak yang kokoh. Meski tak terlihat secara langsung dapat diperkirakan, pembentukan otot badannya cukup proporsional dan terlihat keren dengan mengenakan baju apapun. Saat ini dia menggunakan kemeja biru muda berseling putih bergaris dengan t-shirt putih di dalamnya. Kemeja berlengan panjang dan dilipat setengah sangat sesuai dengan jeans biru yang berwarna gelap. Jam tangan dan kacamata merupakan aksesoris tambahan yang menambah nilai plus penampilannya hari ini. Meski tidak direncanakan, mereka terlihat serasi.
Setibanya di supermarket terlengkap dan terbesar di daerah mereka, mereka memutuskan untuk membagi lembar tugas barang belanjaan agar lebih mengoptimalkan waktu. Dinna, “Ini bagianmu. Kau ke sebelah sana. Aku ke sebelah sini,” katanya. Bima mengangguk mengiyakan dan menerima lembar yang dimaksud. Dia pun beralih menuju ke arah yang dimaksud. Namun urutan barang yang dipesan dan letak barang di supermarket tidak beraturan. Alhasil, beberapa kali mereka berpapasan untuk mendapat barang yang sama. Bima yang sudah lebih banyak mondar mandir mengusulkan untuk membagi tugas mengambil barang berdasarkan posisi barang di supermarket saja. Dinna menyetujui dan mencari kertas dan pensil—bermaksud menulis ulang barang-barang yang akan dibeli. Bima mencegahnya dan mengeluarkan ponsel untuk memotret lembar itu. Dia membaca sekilas dan memberikan kedua lembar itu pada Dinna, dia mengatakan bahwa daya ingatnya cukup tinggi dan dia bisa melihat ulang ke hasil potret tadi bila masih masih ada yang luput. Dia mengusulkan ke salah satu arah—arah buah dan sayur sedangkan Dinna ke arah yang berlawanan.
Namun saat Dinna masih memilih barang yang pertama akan dibelinya, Bima cepat sekali kembali di sebelahnya. Dinna bertanya, “Sudah semuanya?”—sambil melihat ke barang dalam keranjang troli yang dibawa Bima. Dia berkomentar, “Kenapa sayurnya sudah agak layu begini, apa tak ada yang lebih bagus?”—masih melirik barang-barang yang lain, ada tahu, tempe dan produk basah lainnya, “Kau tidak memilihnya ya? Produk ini produk import, pilih yang lokal saja, bahan tidak jauh beda namun harga jauh lebih murah.” Dinna juga melihat beberapa sayur belum memiliki label harga, “Kau belum menimbangnya?” Dia menggerutu bahwa hampir semua barang harus ditukar lagi. Dinna melirik tajam ke arah Bima, namun Bima mengatakan, “Sudah, tidak apa-apa. Kalau masalah harga, nanti aku yang ganti bayarin semua.” Dinna kesal dengan sikap Bima yang terlalu menggampangkan uang, sedangkan Bima justru mengutarakan bahwa mereka tak akan punya cukup waktu untuk mengembalikan dan memilih yang baru karena barang yang seharusnya akan dibeli masih sangat banyak, maka Dinna pun menghela nafas mengiyakan, dengan raut yang berubah seolah berpikir kebenaran ucapan Bima. (Bima yang melihat, tersenyum sekilas)
Akhirnya, mereka melanjutkan belanjanya. Mereka jalan bersama, memilih beras, ada banyak merek dan jenis, Bima langsung mengambil satu bungkus dan meletakkannya di keranjang. Namun Dinna mengambilnya kembali (dengan pandangan sinis ke melihat Bima) dan mengatakan “Apa yang kau lakukan? Disini banyak macam dan kita harus pilih-pilih dulu.” Bima berkomentar, “Bukankah semua beras sama saja, bila sudah dimasak akan menjadi nasi dan rasa nasi tidak akan jauh berbeda, karena rasa lauk pauk dan menu lainnya akan lebih berpengaruh.” Dinna dengan cuek terus memilah-milih kantung beras yang satu dan lainnya. Bima hanya melihatnya dan merasa kesal namun diam. Dinna terlihat menimbang-nimbang akan membeli sekantong beras yang berwarna merah, Bima pun berujar, “Apa yang kau lakukan?” Dinna mengatakan sambil lalu, “Mungkin sebaiknya kita mulai beralih mengkonsumsi beras merah. Ini lebih sehat. Bima menyipitkan mata dan menelan ludah, mengatakan, “Tapi rasanya tidak enak.” Dinna merasa kaget dan heran, “Kau tahu?” Namun dia akhirnya memutuskan untuk membeli beras putih biasa.
Setelah Dinna selesai memutuskan pilihannya dan meletakkan kantung beras di keranjang troli, Bima langsung menarik keranjang dan menuju tempat yang menjual barang pesanan lainnya. Saat akan tiba dia mengarah ke produk telur, dan langsung mengambil satu paket telur sambil lalu, namun Dinna menghentikan langkahnya dan kembali mengambil telur itu dan mengembalikannya. Bima merasa heran namun kembali hanya melihat dan mendengar Dinna mengatakan telur yang sudah dipaket biasanya kurang bagus. Dia pun mengikuti langkah Dinna menuju ke arah telur-telur yang dijual eceran. Dinna mengambil satu kantung plastik dan mulai memilih dan memasukkan satu persatu telur yang terpilih. Bima hanya melihat dan menunggu dengan raut bosan.
Setelah selesai memilih dan menimbang telur—termasuk beberapa kantung sayur yang belum berlabel, mereka lanjut ke arah bagian yang menjual minyak makan. Tanpa tujuan Bima berkomentar sendiri, “Apa dia akan memilih lagi hanya untuk sebungkus minyak goreng?” Dinna yang ternyata mendengar, menjawabnya, “Tentu saja, minyak juga banyak macamnya, ada yang dari minyak kelapa sawit dan ada yang bukan, harganya pun berbeda-beda, kita bisa lihat juga kualitas berapa kali penyaringannya.” Bima lanjut menanggapikan, “Kalau kau sudah terbiasa, bukankah kau bisa memilih saja merek apa yang biasanya kau beli dan tinggal mengambilnya”. Dinna terlihat berpikir sekilas dan menjelaskan bahwa dia jarang memasak dan tidak tahu perkembangan produk saat ini, banyak sekali produk-produk baru dan perubahan harga setiap waktu bisa jauh berbeda, jadi harus selalu memilih dengan cermat.
Bima yang terlihat jenuh mengingatkan bahwa barang yang harus dibeli masih sangat banyak dan hal itu akan sangat melelahkan bila masih harus memilah milih untuk setiap produk yang akan mereka beli. Dinna melihat ke arah cowok dengan kesal dan mengatakan, “Mungkin sebaiknya kamu balik dan pulang saja, biar aku sendiri yang belanja.”
Mereka pun adu mulut.
Bima : “Baiklah, aku pun tak ada keperluan di sini.” Rautnya terdengar jenuh dan hanya mengiyakan karena merasa keputusan itu akan lebih baik.
Dinna : “Ya, kau tidak dibutuhkan di sini. Sebaiknya kau pulang saja. Cowok gak akan mengerti saat wanita sedang belanja.” Kesal karena sikap Bima yang membuatnya merasa terganggu.
Bima : “Hahh, ya, masa-masa yang indah saat wanita dan belanjaannya, aku tak akan mengganggunya.” Ucapannya terdengar cukup sinis.
Dinna (kesal) langsung mengambil trolinya dan melanjutkan belanja, Bima pun langsung berbalik menuju pintu keluar. Sekilas Bima melihat ke belakang dan terlihat dari kejauhan Dinna yang kesulitan membawa troli. Maklum, barang belanjaan yang mereka pilih untuk dikonsumsi 10 orang untuk seminggu ini—tentu cukup berat. Dia pun berpikir sejenak, dan kembali mendekat ke arah Dinna.
Dinna menyadari keberadaan Bima namun tetap meneruskan memilih barang belanjaan. Bima pun hanya diam dan melangkah mengikuti. Saat Dinna telah memilih salah satu produk minyak dan memasukkan ke keranjang troli, Bima segera menggerakkan trolinya ke arah barang tujuan lainnya. Dinna yang melihatnya—terlihat sedikit kesal namun akhirnya sekilas tersenyum.
Bima tiba lebih dulu dengan trolinya dan sudah menunggu tanpa mencoba memilih barang yang akan mereka beli. Dia berdiri bersandar di rak di sebelah produk yang menjual tepung dan berusaha mengerti saat Dinna mulai memilih-milih produk yang akan mereka beli. Dinna berucap sendiri, “Yang ini terigu, yang ini beras—bukan, uhm, ini juga terigu..harganya..” Bima berkomentar sendiri, “Pada akhirnya, harga juga menentukan pilihan.” Dinna melihat ke arahnya dengan sinis dan memutuskan mengacuhkannya—meneruskan memilih. Bima melanjutkan komentarnya dengan suara yang semakin kecil (dimaksudkan untuk dirinya sendiri), “Bukankah mahal karena ada alasannya. Kualitas dan proses perolehannya seharusnya jadi pertimbangan.” Dinna yang ternyata masih dapat mendengar, hanya menanggapi dengan diam—menahan nafas, memejamkan mata, menarik nafas panjang dan melanjutkan memilih. “Ok, yang ini saja.” Sebelum akan meletakkannya dalam troli, Bima sudah merebut apa yang dipegangnya dan meletakkannya di troli dan menggeser trolinya berjalan menjauh. Si cewek hanya melihat dan kaget, “Huh, cih..” tapi kemudian tersenyum sekilas.
Bima sudah tiba dan melakukan seperti sebelumnya, berdiri bersandar dan menunggu, namun Dinna hanya melangkah sekilas dan langsung mengambil beberapa bungkusan tanpa memilihnya. Saat berjalan ke arah bagian produk daging, Bima merasa heran dan bertanya, “Kau tidak memilihnya?”—menunjuk apa yang baru saja diambil Dinna. Dinna menjawab sambil lalu, “Itu cuma bumbu dapur, racikannya sama saja, merica yang satu dengan yang lain tidak akan jauh beda, harganya pun hanya berbeda sedikit.” Bima pun sekilas menggelengkan kepala, merasa aneh—tak habis pikir.
Mereka akan memilih daging dan ikan, Dinna mulai banyak bertanya dengan penjualnya, apa jenis ikan, kapan dibawa dari penangkaran, berapa harga, hingga jenis pengolahan yang akan lebih enak bila digoreng atau diolah lain. Begitu melihat jenis ikan yang tak pernah dilihatnya, dia pun semakin banyak berkomentar. Bima teringat sesuatu. Dia menyentuh lengan Dinna dan mengatakan, “Aku akan membeli sesuatu, kau pilih saja dulu.”—menunjuk ikan yang sedang dilihat Dinna. Dinna mengatakan dan berpesan setengah berteriak, “Oke. Tapi jangan lama-lama.” Bima yang sudah berjalan hanya melambaikan tangannya dari jauh sambil lalu—tanpa melihat.
Saat Bima kembali dengan beberapa barang di tangannya, Dinna terlihat sedang masih memilih produk daging yang ada dalam kemasan. Bima meletakkan barangnya di troli dan Dinna menyadari keberadaannya, “Kau cukup lama, bingung juga memilihnya?”—bermaksud menyindir setelah melihat produk yang dipilih Bima tidak terlalu banyak—sampo, sabun, alat cukur, dan beberapa lainnya. Bima menjawab acuh tak acuh, “Tidak. Aku bertemu teman SMA dan ngobrol cukup lama dengannya di sana. Lagipula, kupikir kamu akan membutuhkan waktu cukup lama bersama dengan ikan dan tumpukan daging itu.”—Bima membalas dengan senyum jail sekilas karena dia segera mengalihkan pandangannya. Dinna hanya diam sedikit kesal. Bima melanjutkan, “Dan, ternyata waktu yang kuperkirakan masih kurang.”—sambil melihat ke arah tangan Dinna dengan dua produk paket daging di tangannya. Perhatian Dinna pun beralih melihat Bima dengan kesal, “Kau sangat menyesal mendapat tugas belanja bersamaku ‘kan?” Bima yang melihat suasana hati Dinna yang memburuk, hanya terdiam.
Dinna mengambil ikan yang telah digoreng saat si penjual memberikan ke arahnya. Dia meletakkannya di bagian atas troli. Bima masih merasa ragu mengawali pembicaraan namun dia memutuskan mengatakannya juga, “Mungkin kau lupa, tapi daging yang tadi kau pilih belum ada di keranjang.”
Dinna melihat ke arahnya, lalu ke keranjang dan ke arah yang dimaksud Bima. Dia menjawab, “Oh, aku hanya melihat-lihat. Tak ada maksud membelinya.” Bima mengatakan, “Sudah beli saja,”—terlihat raut menyesal di wajahnya. Lanjutnya, “Bila masih butuh waktu untuk memilih, aku akan menunggunya. Atau, kau ingin aku menunggu di sana?”—sambil tersenyum membujuk. Mungkin dikiranya Dinna ngga jadi memilih karena sindirannya tadi. Dinna yang melihatnya tersenyum, sedikit tergugah dan mengatakan, “Tidak. Aku memang tidak berniat membelinya, aku hanya melihatnya sambil menunggu ikan yang digoreng. Aku melihat dan menimbang-nimbang kualitas dada ayam yang lokal dan import ternyata jauh berbeda—dagingnya, tulang dan kulitnya.” Bima yang mendengar penjelasannya, terlihat berusaha mengerti. “Juga, harganya,” Dinna menambahkan sambil ikut tersenyum.
Dalam perjalanan pulang, komunikasi diantara mereka sudah membaik. Mereka membahas persoalan yang sempat menjadi masalah tadi hingga perbedaan cewek dan cowok saat membelanjakan keperluan mereka.
Dinna akhirnya mengatakan, “Mungkin membosankan bagi kalian karena kalian tidak merasa berkepentingan untuk melakukannya. Pasti ada saat dimana pikiran kita merasa bosan dan mengatakan, ‘Mungkin lebih baik waktu ini kulakukan untuk sesuatu yag lebih berguna.’ Dan, oleh karenanya, ingatkan aku untuk tidak mengikutsertakanmu saat mendapatkan tugas belanja. Mungkin, undian pembagian tugas bisa dipilih ulang.”—sarannya. Bima yang sedang mengemudi setir—melihat sekilas ke arah Dinna, dia tersenyum dan mengatakan, “Tidak juga. Karena belanja bersamamu, aku jadi mengerti jalan pikiran kalian—wanita.” Tersenyum dan membalas dengan senyum saat Dinna melihat ke arahnya. Lanjutnya, “Dulu saat diajak ibuku belanja dan memerlukan waktu yang lama, aku tak pernah mau ikut lagi saat tahu beliau akan belanja. Bagiku, tempat yang disebut pasar adalah kasino penuh pilihan menggiurkan bagi kaum tertentu yang akan menghabiskan sepanjang hidupnya untuk melihat dan berkeliling. Mereka tak pernah bosan dan sepertinya tak akan pernah bosan. Pasar menjadi surga bagi mereka yang sudah kecanduan. Bukan tempat untukku menghabiskan waktu.”
Dinna melihat ke arah Bima—dan mulai mengerti. Bima masih melanjutkan, “Tapi, hari ini jadi semakin jelas saat melihat dan mendengarmu. Lumayan banyak tontonan yang dapat dilihat.”
Bima maksudkan adalah mimik wajah Dinna yang berubah-ubah saat melihat produk pilihan yang baru dan unik, atau saat dia bingung harus memilih produk yang mana, atau saat dia kesal bahwa satu produk sudah menjadi sangat mahal, dan banyak hal lainnya—Dinna sangat ekspresif bila serius melakukan sesuatu. Apapun yang dipikirkannya pun selalu tanpa sadar diucapkannya, sehingga terlihat lucu—perpaduan jalan pikiran dan raut wajah yang seharusnya tidak terlihat.
Sedangkan Dinna mengira ‘tontonan’ itu adalah gadis-gadis cantik yang sedang belanja dengan pakaian serba minim, dia berkata dalam hati, “Mereka pikir tempat belanja itu café, atau mereka memang akan membawa belanjaannya ke café? Hahaha, ada-ada saja.” Dia pun tersenyum sendiri.
Bima melihat ke arahnya, dia pun salah tingkah—membuang arah pandangan dan melihat pengendara motor yang berhenti tepat di sebelah mereka (saat lampu merah).
Ada seorang cewek yang mengenakan pakaian sangat-sangat-sangat minim—rok span yang ketat, baju lengan pendek seperti singlet—nyaris terlihat tanpa busana. Dia mengatakan dalam hati, “Apa dia tidak masuk angin? Sekalian aja pake lingerie.” Terlihat beberapa cowok pengendara motor melihat ke arah cewek yang berpakaian minim itu. Dinna pun berkomentar, “Dasar cowok.”—menggelengkan kepala.
Bima melihat ke arahnya. “Ada apa?” Dia pun melihat ke arah pandangan apa yang dilihat Dinna dan mengatakan, “Mungkin, dia orang tak punya—sehingga hanya mampu membeli pakaian dengan bahan terbatas.”
Dinna yang merasa heran dengan ucapan Bima melihat ke arahnya. Bima bertanya, “Apa?” Dinna justru balik bertanya, “Apa tadi yang kau ucapkan?” Bima mengerti dan mengatakan bahwa tidak semua cowok suka dengan penampilan wanita yang serba minim, mungkin itu akan meningkatkan libido gairah cowok dalam seketika, namun cowok yang lebih mengutamakan logikanya akan berpikir ulang untuk mendekati wanita tipe seperti itu.
Dia melanjutkan, “Tentu tak ada istimewanya bila seluruh dunia juga dapat melihat wanita yang kita sayang tanpa busana. Seorang wanita seharusnya tahu bahwa pria pun ingin wanita hanya menjadi miliknya.” Dia berkomentar tentang keegoisan pria dan Dinna pun berkomentar tentang pandangannya dari sisi wanita. Dalam pikirannya, Dinna mengerti bahwa Bima yang sekarang berprofesi sebagai dokter tentu sudah puas melihat tubuh manusia,—termasuk wanita—dalam keadaan utuh,—tanpa busana, jadi bukan hal baru bila dia melihat cewek yang berpakaian serba minim itu.
Dinna mengalihkan pembicaraan mereka saat mobil sudah mulai melanjutkan perjalanan, “Jadi, pengalaman hari ini bukan termasuk pengalaman terburuk dalam hidupmu?”
Bima melihat ke arah Dinna dan tersenyum sekilas—namun segera melihat kembali ke arah kemudinya, dan menjawab, “Bukan salah satu. Tapi, satu-satunya.” Namun dengan senyum jail dia melihat ke arah Dinna yang beraut kesal mendengarnya.
Dia melanjutkan, “Dan, satu-satunya pengalaman menarik—bertengkar denganmu di tengah kerumunan—dari sepanjang hidup 25 tahun ini.” Dia melihat ke arah depan kemudi, dan berkata sendiri dengan senyum terukir, “Mungkin ada baiknya untuk dilakukan sekali-kali.”
Dinna melihat ke arah Bima, ikut tersenyum dan berkomentar, “Jadi, kau masih mau menemaniku, kalau kita mendapat tugas belanja lagi?”
Bima melihat ke arah Dinna yang saat ini memiliki raut penuh harap, dia menjawab, “Mungkin. Dan, saat itu akan lebih baik bila aku membawa earphone dan sedikit cemilan”—candanya seraya kembali fokus ke arah depan. Dinna yang mendengar itu hanya sekilas manyun dan lalu tersenyum juga.
Perjalanan pulang dilanjutkan dalam diam, mereka mendengarkan musik dan terlarut dalam pemandangan sekitar. Sama seperti saat berangkat tadi, namun bedanya, hati dan pikiran mereka lebih tenang. Mereka sudah menerima dan mengerti. Mereka merasa, nyaman. Satu kata penting dalam satu kebersamaan.
Pikiran Cewek : “Oh, begitu sulitkah pergi menemani berbelanja?”
Pikiran Cowok : “Yah, ternyata begitu saat berbelanja.”
Langganan:
Komentar (Atom)